oleh Yusi Nur Apriyani
Statistika
adalah salah satu cabang ilmu dari matematika yang mempelajari tentang
pengumpulan data, penyajian data, pengolahan data, analisis data serta
penarikan kesimpulan berdasarkan analisis data yang telah dilakukan. Aplikasi
statistika banyak digunakan dalam berbagai metode penelitian yang pada dasarnya
merupakan kegiatan seperti mengumpulkan data, mengolah data, menganalisa data,
dan menarik kesimpulan dari data penelitian. Di Negara maju seperti Amerika dan
Jepang, ilmu statistika telah sejak lama berkembang pesat sejalan dengan
kemajuan ilmu ekonomi dan ilmu teknik. Perkembangan ilmu dan teknologi juga
tidak lepas dari peran ilmu statistika. Sehingga ilmu statistika sudah
seharusnya dipelajari dan dipahami sejak usia sekolah, supaya tidak tertinggal
oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin maju.
Di
Indonesia Pengantar Statistika telah dicantumkan dalam kurikulum matematika
Sekolah Dasar sejak tahun 1975. Hal itu disebabkan karena sekitar lingkungan
kita selalu berkaitan dengan Statistik. Misalnya di Kantor Kelurahan kita
mengenal statistik desa yang di dalamnya memuat keadaan penduduk mulai dari
banyaknya penduduk, pekerjaan penduduk, banyak anak dan sebagainya (dalam
Widyantini dan Pujianti, 2004). Di Sekolah Menengah Atas yang menerapkan
kurikulum 2013, materi statistika terdapat di kelas X dan XI. Di kelas X materi
yang dipelajari ditekankan pada penyajian data, baik data tunggal maupun data
kelompok. Sedangkan di kelas XI materi yang dipelajari adalah tentang
pengolahan data.
Menurut
Brousseau (Suratno, 2009), pada prakteknya, siswa secara alamiah mungkin
mengalami situasi yang disebut kesulitan belajar (learning obstacle). Dalam proses pembelajaran dapat dilihat bahwa
terdapat hambatan belajar karena siswa kurang memahami materi pembelajaran
secara utuh, sehingga proses pembelajaran yang dilakukan tidak akan memperoleh
hasil yang optimal. Jika pembelajaran matematika hanya berdasarkan pemahaman
tekstual dan dalam waktu yang singkat, maka pemahaman siswa akan matematika
hanya dalam waktu yang singkat pula.
Berdasarkan
observasi yang dilakukan, hasil analisis kemampuan siswa dalam mengerjakan
instrumen tes tentang materi statistika kelas X dapat dilihat bahwa terdapat
beberapa kesulitan yang dialami siswa. Dalam hal ini, berbagai hambatan
epistemologis dalam memahami materi statistika, atau yang dikenal dengan learning obstacle dapat ditemukan dari
setiap jawaban yang ditulis oleh siswa. Learning
obstacle tersebut dibagi menjadi 2 tipe yaitu sebagai berikut.
Tipe
1 : learning
obstacle terkait dengan konsep penyajian data terhadap data yang diamati.
Tipe
2 : learning obstacle terkait pemahaman rumus-rumus dalam perhitungan
statistika.
Akibat masih terdapatnya beberapa learning obstacle dalam pembelajaran materi statistika ini, saya berpendapat
bahwa masih adanya kekurangan dalam proses pembelajaran siswa dalam memahami
materi statistika. Sehingga perlu adanya solusi yang dapat mengurangi timbulnya
learning obstacle pada siswa, seperti
perancangan sebuah desain didaktis yang memperhatikan respons siswa, kebutuhan
siswa, atau penyebab timbulnya hambatan yang ada. Dengan dirancangnya sebuah
desain didaktis, diharapkan dapat mengurangi learning obstacle yang dialami siswa sehingga pemahaman siswa
terhadap materi statistika meningkat. Desain didaktis awal yang dirancang
adalah sebagai berikut.
Pengembangan desain didaktis awal berdasarkan learning obstacle
Pengembangan desain didaktis awal berdasarkan learning obstacle
a. Desain Didaktis untuk
Mengatasi Learning obstacle Tipe 1
Pada
learning obstacle tipe 1 adalah
terdapatnya kesulitan siswa dalam mengamati data sehingga penyajian data yang
dilakukan tidak sesuai. Siswa mengalami kesulitan dalam menempatkan titik data
pada diagram yang digambarkannya.
Bruner
(dalam Suherman) mengemukakan bahwa belajar yang baik adalah dengan cara
memanipulasi benda-peraga dari alam kehidupan sekitar siswa (local material), dengan cara ini
pemaknaan terhadap materi bahan belajar
menjadi kuat tertanam dalam kognitif siswa. Maka untuk membuat siswa
memahami tentang data-data yang diamatinya, terlebih dahulu siswa secara
individu diarahkan untuk mengumpulkan data yang berasal dari sekitar lingkungan
belajarnya. Misalnya pengumpulan data berat badan, tinggi badan, atau pelajaran
paling disenangi teman-teman sekelasnya, dan data-data lainnya. Setelah
mengumpulkan data, siswa diarahkan untuk dapat menyajikan data tersebut ke
dalam tabel distribusi frekuensi.
Dalam
pengumpulan data ini ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi diantaranya
adalah sebagai berikut.
· Tabel distribusi frekuensi
yang disajikan oleh siswa mudah untuk dikelompokkan dan tidak terlalu panjang.
Biasanya tabel distribusi frekuensi meliputi data yang sedikit ragamnya. Tabel
distribusi frekuensi inilah yang disebut tabel distribusi frekuensi data
tunggal.
· Tabel distribusi frekuensi
yang disajikan oleh siswa sulit untuk
dikelompokkan dan panjang, sehingga penyajiannya menjadi tidak efektif dan
efisien. Biasanya tabel distribusi frekuensi meliputi data yang banyak
ragamnya. Oleh karena itu untuk dapat lebih menyederhanakan penyajian data
dilakukan dengan mengelompokkan data dalam interval kelas tertentu. Tabel
distribusi frekuensi inilah yang disebut tabel distribusi frekuensi data
berkelompok.
Dalam
penyajian tabel distribusi frekuensi data tunggal biasanya siswa tidak
mengalami kesulitan. Sedangkan dalam penyajian tabel distribusi frekuensi data
berkelompok, siswa diharuskan untuk menentukan beberapa point terlebih dahulu,
seperti banyaknya interval kelas, rentang (jangkauan) data, dan panjang
interval kelas.
Menurut
Anya (dalam Wahyuni, 2013) berdasarkan teori Ausubel, ada empat tipe belajar,
yaitu salah satunya belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai
bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan
yang ia miliki. Oleh karena itu agar data berkelompok yang dikumpulkan siswa
dapat disajikan dalam tabel distribusi frekuensi maka siswa dikenalkan dengan
aturan Sturgess yang digunakan untuk menentukan banyaknya interval kelas pada
tabel, serta cara menentukan rentang (jangkauan) data untuk dapat menentukan
panjang interval kelas secara langsung. Sehingga siswa dapat menghitung
frekuensi pada setiap interval kelas pada tabel distribusi frekuensi yang
disajikannya.
Setelah
siswa dapat menyajikan data yang dikumpulkannya dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi. Selanjutnya siswa diarahkan untuk dapat menyajikan data yang
diamatinya ke dalam bentuk diagram batang dengan skala yang disesuaikan
tergantung kebutuhan data. Selagi siswa melakukan aktivitas belajarnya, guru
berkeliling memperhatikan cara siswa menyelesaikan tugasnya, dan membantu siswa
yang kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya. Setelah memastikan siswa selesai
menyelesaikan diagram batangnya, guru secara acak menunjuk beberapa siswa untuk
menggambarkan diagram batang dari data miliknya di papan tulis.
Dalam
penyajian data dalam bentuk diagram batang ini ada beberapa kemungkinan yang
dapat terjadi diantaranya adalah sebagai berikut.
· Penyajian untuk data
tunggal dan data berkelompok sama. Padahal diagram batang hanya berlaku untuk
data tunggal, sedangkan untuk data berkelompok disajikan dalam bentuk
histogram. Walaupun secara teknis penggambaran atau penyajiannya sama. Namun
perbedaannya dalam data tunggal antara batang yang satu dengan yang lainnya
memiliki jarak (renggang), sedangkan dalam data berkelompok antara batang yang
satu dengan yang lainnya bersinggungan (berhimpit).
· Diagram batang yang dibuat
sudah sesuai dengan data yang ada, dengan lebar yang juga sama setiap
batangnya.
· Diagram batang yang dibuat
dengan tinggi batang yang sesuai dengan frekuensi data yang ada, namun lebarnya
berbeda tiap batangnya. Kondisi ketika lebar batang berbeda-beda adalah jika
interval kelas sudah ditentukan sehingga interval setiap kelas berbeda-beda.
Setelah
siswa dapat menyajikan data dalam bentuk diagram batang dan histogram, guru
bertanya ‘apakah data-data tersebut dapat disajikan pula dalam bentuk diagram
garis?’. Ada beberapa kemungkinan respons siswa atas pertanyaan tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut.
· Siswa menjawab bahwa
data-data tersebut dapat disajikan dalam bentuk diagram garis, sama halnya
seperti menyajikan dalam bentuk diagram batang.
· Siswa menjawab bahwa tidak
semua data-data tersebut dapat disajikan dalam bentuk diagram garis, tapi tidak
mengetahui alasannya.
· Siswa menjawab bahwa tidak
semua data-data tersebut dapat disajikan dalam bentuk diagram garis, dan
memahami kenapa tidak semua data dapat disajikan dalam diagram garis.
Guru
menjelaskan bahwa tidak semua data-data tersebut dapat disajikan dalam bentuk
diagram garis. Diagram garis berfungsi untuk menyajikan perkembangan data
statistik yang kontinu, seperti perkembangan populasi penduduk, suhu badan,
curah hujan, omset penjualan barang atau tinggi permukaan air laut, yang
biasanya berhubungan dengan waktu. Selanjutnya guru memberikan data seperti
berikut untuk siswa sajikan dalam bentuk diagram garis.
Selagi
siswa melakukan aktivitas belajarnya, guru berkeliling memperhatikan cara siswa
menyelesaikan tugasnya, dan membantu siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan
tugasnya. Setelah memastikan siswa selesai menyelesaikan diagram batangnya,
guru secara acak menunjuk beberapa siswa untuk menggambarkan diagram batang
dari data miliknya di papan tulis.
Dalam penyajian data dalam bentuk diagram garis ini ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi diantaranya adalah sebagai berikut
Dalam penyajian data dalam bentuk diagram garis ini ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi diantaranya adalah sebagai berikut
· Diagram yang disajikan oleh
siswa sudah sesuai dengan data yang ada.
· Diagram yang disajikan oleh
siswa hampir sesuai, namun belum tepat. Penempatan titik-titik yang dihubungkan
garis ada yang tidak sesuai dengan data yang diberikan.
Guru
mempersilakan siswa untuk mengamati hasil kerja temannya serta mengkritisinya,
dan memperbaiki jika ada pemahaman yang kurang tepat.
Setelah
siswa dapat menyajikan data dalam bentuk diagram batang, histogram, dan diagram
garis, guru bertanya ‘apakah data-data tersebut dapat disajikan pula dalam
bentuk diagram lingkaran?’. Ada beberapa kemungkinan respons siswa terhadap
pertanyaan tersebut seperti halnya respons siswa pada pertanyaan sejenis
sebelumnya.
Guru menjelaskan bahwa seluruh data
statistik dapat disajikan dalam bentuk diagram lingkaran. Selanjutnya guru
berdiskusi dengan siswa sedikit tentang lingkaran hal-hal apa saja yang
dibutuhkan dalam membuat diagram lingkaran. Siswa diingatkan kembali tentang
materi lingkaran. Setelah itu guru memilah-milah respons siswa yang berkaitan
dengan penyajian data dalam bentuk diagram lingkaran. Setelah disimpulkan
bersama bahwa kesesuaian untuk membuat diagram lingkaran adalah dengan menggunakan
juring lingkaran yang berfungsi sebagai perbandingan objek dengan keseluruhan
data, maka hal-hal yang diperlukan adalah menentukan ukuran sudut pusat juring
tiap objek. Penyajian data dalam bentuk diagram lingkaran disertakan pula
persentase tiap objeknya sehingga terlihat perbandingan tiap objeknya secara
jelas.
Selanjutnya
siswa diarahkan untuk dapat menyajikan data yang telah dikumpulkan sebelumnya
ke dalam bentuk diagram lingkaran. Selagi siswa melakukan aktivitas belajarnya,
guru berkeliling memperhatikan cara siswa menyelesaikan tugasnya, dan membantu
siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya. Setelah memastikan siswa
selesai menyelesaikan diagram batangnya, guru secara acak menunjuk beberapa
siswa untuk menggambarkan diagram batang dari data miliknya di papan tulis.
Guru mempersilakan siswa untuk mengamati hasil kerja temannya serta
mengkritisinya, dan memperbaiki jika ada pemahaman yang kurang tepat.
b. Desain Didaktis untuk
Mengatasi Learning obstacle Tipe 2
Pada
learning obstacle tipe 2 adalah
terdapatnya kekeliruan siswa dalam menggunakan rumus-rumus untuk perhitungan
statistiknya. Kebanyakan siswa hanya menghapal rumusnya saja tanpa
mengaitkannya dengan pengetahuan yang sudah didapatkannya. Menurut Anya (dalam
Wahyuni, 2013), berdasarkan teori Ausubel terdapat empat tipe belajar yaitu
salah satunya belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai
bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya
dengan pengetahuan yang ia miliki sebelumnya. Pada umumnya usia siswa kelas X
lebih dari 11 tahun, menurut Piaget (dalam Suyitno, 2012) pada tahap ini
perkembangan kognisi anak yang sudah mampu berpikir abstrak, tanpa terbatas kepada
hal-hal yang konkret.
Pertama-tama
guru menjelaskan apa mean, modus, dan median dari data statistik yang
sebelumnya telah dipelajari. Dalam data tunggal cara menentukan mean, modus,
dan median dilakukan secara sederhana. Namun dalam data kelompok diperlukan
rumus-rumus untuk menentukan mean, modus, dan median. Menurut Anya (dalam
Wahyuni, 2013) berdasarkan teori Ausubel, ada empat tipe belajar, yaitu salah
satunya belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran
yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir,
kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
Oleh karena itu dalam menentukan mean, modus, dan median harus dipahami
terlebih dahulu apa itu mean, modus, dan median, dan cara penentuannya dalam
data tunggal. Bruner (dalam Kusumah dan
Suherman, 1992) dalam dalil pengaitannya menyatakan bahwa dalam matematika
antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan
saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi
yang satu mungkin merupakan materi prasyarat bagi materi yang lain, atau suatu
konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya.
Guru
juga menjelaskan rumus untuk menentukan mean, modus dan median secara jelas
agar tidak terjadi kesalahpahaman simbol di dalam rumus yang diberikan. Bruner
(dalam Kusumah dan Suherman, 1992)
mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting.
Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan mental anak. Ini berarti untuk menyatakan sebuah
rumus misalnya maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan
mudah dimengerti.
Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa jenis learning obstacle beserta antisipasinya
dalam desain didaktis pada materi statistika adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Jenis Learning obstacle dan
Desain Didaktis
Referensi
Kusumah,
Yaya. Suherman, Erman. 1992. Materi Pokok
: Strategi Belajar Mengajar Matematika. Tidak diterbitkan.
Nur’ela.
2013. Desain Didaktis Konsep Garis
Singgung Lingkaran Pada Pembelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan
Suratno,
T. 2009. Memahami Kompleksitas
Pengajaran-Pembelajaran dan Kondisi Pendidikan dan Pekerjaan Guru.
[Online]. Tersedia: http://the2the.com/eunice/document/TSuratno_complex_syndrome.pdf. [17 Mei 2015]
Wahyuni,
Dwi. 2013. Desain Didaktis Konsep Jarak
dalam Ruang Dimensi Tiga dengan Pendekatan Kontekstual pada Pembelajaran
Matematika SMA Kelas X. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Widyantini.
Pujianto. 2004. Statistik.
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar